- Serangan pemutihan karang secara masif pernah terjadi pada 2016. Sebagian wilayah perairan di Sekotong Lombok Barat paling terdampak.
- Kini, Maret-April 2019, pemutihan karang kembali terjadi yang menyasar perairan selat Lombok.
- Selain pemutihan karang dampak perubahan iklim, kerusakan terumbu karang juga dipicu berbagai aktivitas manusia, dari menangkap ikan dengan cara tak ramah lingkungan, pariwisata tak berkelanjutan, sampai pencemaran limbah ke laut.
- Uniknya, kawasan-kawasan dengan pulau penuh mangrove relatif bisa bertahan dari serangan pemutihan karang. Begitu juga pulau-pulau ada penduduk atau kampung nelayan, kerusakan terumbu karang lebih kecil.
Imam Bahctiar, gelisah. Di dalam laboratorium kampusnya, berulang kali dosen Biologi Universitas Mataram ini membolak balik laporan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Lembaga milik Amerika serikat yang pada riset laut dan cuaca itu merilis laporan pada 4 Desember 2018. Dalam laporan itu, diperkirakan terjadi serangan pemutihan karang (coral bleaching) pada perairan Indonesia mulai awal 2019.
Pada rentang Maret-April 2019, pemutihan karang itu akan melanda perairan Selat Lombok. Sambil menunjukkan peta dari NOAA dan cara membaca peta itu, Imam menjelaskan serangan kali ini 90% kemungkinan terjadi dengan level alert II yang menyebabkan kematian karang secara massal.
“Kejadian ini pernah pada 2016,’’ katanya.
Pemutihan karang dimulai pada 13 Januari 2019, level masih moderat, tidak menyebabkan kematian karang masal. Peristiwa ini terjadi pada perairan laut Jawa. Terumbu karang di Kepulauan Seribu dan Karimun Jawa, akan terdampak dengan level alert I karena berlangsung selama seminggu atau dua minggu.
Baca juga : Menguak Ketangguhan Terumbu Karang Dari Perubahan Iklim
Pada 27 Januari 2019, pemutihan karang di laut Jawa, intentitas makin rendah. Pada Maret, pemutihan karang moderat diperkirakan mulai terjadi di Selat Bali, Selat Lombok dan Selat Alas, serta Kepulauan Kapoposang Makassar. Pemutihan karang diperkirakan terjadi selama dua minggu di kawasan ini, dengan alert level I. Ia terjadi di kawasan ini dari minggu pertama dan kedua Maret. Kali ini, pemutihan karang lanjut level alert II yang menyebabkan kematian massal karang.
“Bencana besar ini terjadi pada empat minggu berikutnya, dari 17 Maret sampai 14 April 2019,’’ kata Imam.
Saya kemudian membuka foto-foto pada 2016-2017, di mana saat itu beberapa wisatawan melaporkan terumbu karang yang awalnya berwarna-warni tiba-tiba putih.
Gili Sudak, kawasan wisata di Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, salah satunya. Tempat snorkeling di sisi timur pulau itu dulu tempat snorkeling favorit. Air dangkal, dan arus tak keras. Pulau ini, paling dekat dengan Lombok.
Saya menunjukkan beberapa foto-foto dari pulau ini yang diambil setelah heboh karang berwarna putih. Imam memastikan itu akibat pemutihan karang pada 2016.
Baca juga: Ancaman Kematian Terumbu Karang Itu Nyata di Perairan Lombok
Pulau kecil, tetangga Gili Sudak, Gili Kedis, juga tak selamat dari pemutihan karang. Ditambah begitu banyak wisatawan berkunjung ke pulau berpasir putih seluas lapangan sepak bola itu, kondiri terumbu karang makin parah. Setelah mati, diikuti kehancuran. Pada 2015, terumbu karang di sekitar pulau itu masih sehat. Warna-warni dan mudah lihat ikan.
Imam bilang, di Selat Bali, Lombok dan Alas, pemutihan karang sudah pernah terjadi berkali-kali. Pemutihan karang di kawasan barat Coral Triangle Area (CTA) ini terjadi pada 1983, 1998, 2010 dan 2016. Keempat kali pemutihan karang ini menyebabkan kematian massal karang di Selat Lombok, terutama di Gili Matra (Meno, Air, Trawangan) dan Sekotong. Jarak antar siklus pemutihan karang dengan sangat cepat makin memendek, yaitu 15 tahun (1983-1998), 12 tahun (1998-2010), dan 6 tahun (2010-2016). Pada 2019, juga terjadi kematian massal karang, hingga jarak siklus hanya tiga tahun.
“Di Sekotong terjadi penurunan tutupan karang dari 38% menjadi 16%,’’ kata Imam.
Apa penyebabnya?
Imam bilang, pemutihan karang terjadi karena suhu air laut melebihi suhu maksimum tahunan. Kalau suhu maksimum tahunan Selat Lombok 30 oC, kemudian suhu air laut naik 1oC selama empat minggu, karang akan mengalami pemutihan. Kalau kenaikan suhu 1 oC, berlangsung selama lebih delapan minggu, akan banyak karang mengalami kematian massal.
Kematian massal karang, katanya, karena “kelaparan” dan kerusakan jaringan. Karang menerima 70-90% makanan dari hasil fotosintesis algae zooxanthellae yang hidup di dalam tubuhnya. Ketika karang mendapat gangguan suhu tinggi, karang kehilangan tabir surya yang menyebabkan sinar ultraviolet (UV) terlalu banyak masuk ke zooxanthellae. Sinar UV yang berlebihan merusak fotosistem II di dalam zooxanthellae, katanya, menyebabkan foto sintesis berjalan tak normal. Lalu, zooxanthellae tidak menghasilkan oksigen normal tetapi oksigen radikal.
Adanya oksigen radikal meracuni jaringan karang, zooxanthellae dikeluarkan dari karang. Karang yang berwarna cerah jadi putih karena tanpa zooxanthellae. Pasokan makanan dari zooxanthellae tak ada menyebabkan karang mati kelaparan.
“Ada pemasan global hingga air laut panas. Faktor lain juga berkontribusi pada kerusakan maupun ketahanan karang,’’ katanya.
Imam mencontohkan, di perairan Selat Alas– spot terkenal di Gili Kondo, Gili Bidara, dan Gili Petagan. Karang di Gili Bidara dan Gili Kondo, banyak kena pemutihan karang. Pada karang dekat Gili Petagan, banyak selamat.
Dia menduga, mangrove yang mendominasi Gili Petagan jadi pelindung alami bagi karang di tempat itu.
“Ada dugaan mangrove menghasilkan tanin yang larut sekitar karang, tanin ini melindungi karang dari UV tang berlebihan. Pohon mangrove rimbun juga menutupi, semacam peneduh,’’ katanya.
Gili Petagan, Gili Sulat, dan Gili Lawan di kawasan perairan Selat Lombok memang dikenal dengan mangrove. Tiga pulau ini berasal dari hutan mangrove. Seluruh “daratan” terbentuk oleh akar mangrove yang mengikat satu sama lain. Terumbu karang di tempat ini juga berwarna-warni dan salah satu titik snorkeling terbaik di Lombok Timur.
“Mungkin jika dibuatkan peneduh, misal, kawasan terumbu karang ditutupi waring akan mengurangi paparan langsung panas matahari,’’ kata Imam menawarkan solusi jangka pendek.
Selain pemanasan global, perikanan, permukiman, dan pariwisata juga mempengaruhi status kesehatan perairan. Pariwisata diikuti menjamurnya fasilitas penginapan, hotel, restoran, dan permukiman. Limbah dibuang ke perairan. Belum lagi lalu lalang perahu yang membawa penumpang, tumpahan minyak, jangkar yang merusak makin memperparah kondisi terumbu karang.
Imam yang lama riset tentang terumbu karang bahas kasus Gili Trawangan. Pada 1980-an, di depan mesjid Gili Trawangan merupakan tempat terbaik terumbu karang. Sekarang, sudah rusak parah. Nyaris, tak ada karang selamat.
“Dulu, musuh di Gili itu pengeboman. Pengeboman hilang, sekarang boat (perahu) terlalu banyak. Di depan mesjid Gili Trawangan itu malahan sekarang jadi tempat parkir boat,’’ kata Imam.
Dalam riset Wildlife Coservation Society (WCS) di Gili Trawangan menunjukkan, bukti perubahan perairan Gili Matra (Meno, Air, Trawangan). Pada 2012, kondisi tutupan terumbu karang masih tinggi dan sehat. Namun, dampak limbah dari aktivitas pariwisata menyebabkan substrat didominasi alga, rubber dan pasir. Dalam foto hasil penelitian 2012 dan 2016, tampak kondisi terumbu karang berubah makin rusak.
Begitu juga dengan riset pengaruh pemutihan karang. Pada 2012, tutupan terumbu karang masih tinggi. Setelah serangan coral bleaching terjadi kerusakan terumbu karang. Kalau pada 2012, masih banyak ditemukan ikan, pada 2016, pada tempat sama sudah jarang ditemui.
Dia bilang, penangkapan ikan merusak juga mengakibatkan kerusakan karang. Penggunaan pukat dan pengeboman membuat banyak karang patah, lalu mati.
********
Nasrullah, nelayan dari Dusun Lungkak, Desa Ketapang Raya, Kecamatan Keruak, Lombok Timur, hanya geleng-geleng kepala ketika saya menunjukkan foto-foto kondisi terumbu karang di peraian Teluk Jukung. Lahir dari keluarga nelayan dan melaut sejak duduk di bangku SD, teluk yang membentang dari Tanjung Luar hingga Tanjung Ringgit itu ibarat kebun bagi Nasrullah.
Kebun itu kini rusak. Terumbu karang yang dulu tempat mencari ikan sudah patah. Mati. Di beberapa tempat hancur berkeping-keping. “Ini bekas bom,’’ katanya, ketika saya menunjukkan foto lain.
Nasrullah tahu kondisi karang rusak karena bom. Walaupun dia bukan nelayan yang menangkap ikan dengan cara mengebom, dari pengalaman mencari ikan di lokasi yang dulu marak pengeboman, Nasrullah jadi mengenali. Dugaan Nasrullah tak keliru. Pada Maret 2019, empat nelayan ditangkap beserta barang bukti bom ikan.
Pada pekan pertama dan kedua April, bersama komunitas “Jaga Laut” saya mendokumentasikan kondisi perairan Teluk Jukung. Teluk Jukung ini sebutan bagi warga sekitar untuk perairan Selat Lombok di bagian Jerowaru, membentang dari Tanjung Luar hingga Tanjung Ringgit.
Ada belasan pulau kecil (gili) di kawasan ini. Salah satu ikon kawasan ini adalah Pantai Pink. Jumlah Pantai Pink bukan hanya satu, di beberapa titik, di lokasi teluk lebih kecil banyak dijumpai Pantai Pink.
Dari hasil dokumentasi kami, di sekitar Gili Kere, kondisi terumbu karang sebagian besar rusak dan mati. Banyak patah. Di lokasi inilah diduga masih terjadi pengebomam. Justru terumbu karang yang lebih sehat dijumpai di dekat Gili Maringkik. Padahal, pulau itu kampung nelayan padat. Selain sampah dan limbah, perahu juga banyak hilir mudik.
“Biasa kalau dekat pulau penghuni tak berani ngebom, mudah ketahuan. Mungkin itu yang bikin terumbu karang lebih bagus,’’ kata Nasrullah.
Temuan kami menunjukkan, terumbu karang di sekitar pulau ada penduduk, seperti Gili Maringkik, Gili Beleq, dan Gili Re, kondisi lebih bagus dibandingkan sekitar pulau tak berpenghuni. Selain diduga aktivitas perikanan tak ramah lingkungan, pariwisata juga memengaruhi kondisi terumbu karang.
Di Gili Petelu, Pantai Segui, Pantai Telono, pada 2015 saat saya mendokumentasikan terumbu karang masih banyak dijumpai karang berwarna-warni. Tutupan lebih bagus. Pada kunjungan 2019, banyak terumbu karang patah, bahkan hancur. Di beberapa lokasi terumbu karang sudah lenyap.
“Bagaimana tidak, semua perahu yang bawa tamu asal lepas jangkar saja,’’ katanya.
Setelah dua pekan diajak melihat kondisi bawah laut di kampung halaman, barulah Nasrullah mengambil kesimpulan kalau ikan yang makin jauh dan langka bukan semata karena jumlah kurang, juga karena karang rusak.
Dulu, hanya 300 meter dari bibir pantai depan rumah, Nasrullah bisa mudah menangkap ikan. Bahkan pada musim tertentu, cukup berenang dari bibir pantai nelayan bisa menangkap ikan.
“Ada namanya ikan teri layang, terakhir masuk 2013. Setelah itu tak pernah lagi.”
Cumi pun nyaris tak pernah mampir dalam jumlah besar ke perairan itu. Rudi, nelayan penangkap cumi sampai berlayar ke Sumbawa dan Sumba Nusa Tenggara Timur, untuk cari cumi. Ketika masih kecil, dia ingat menangkap cumi cukup mudah. Kini harus jauh melaut. Nelayan kecil dengan modal “perahu ketiting” sudah tak berani melaut terlalu jauh, terlalu berisiko.
“Makin susah ikan…”
Keterangan foto utama: Pemutihan karang pada 2016 terjadi di Perairan Selat Lombok. Tahun ini, pemutihan karang terjadi lagi. Foto ini diambil di perairan sekitar Gili Asahan, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Foto: Fatur Rakhman/ Mongabay Indonesia
(Visited 1 times, 1 visits today)
Related
https://www.mongabay.co.id/2019/05/13/ketika-pemutihan-karang-terjadi-lagi-di-lombok/
2019-05-13 08:13:10Z
CBMiVWh0dHBzOi8vd3d3Lm1vbmdhYmF5LmNvLmlkLzIwMTkvMDUvMTMva2V0aWthLXBlbXV0aWhhbi1rYXJhbmctdGVyamFkaS1sYWdpLWRpLWxvbWJvay_SAVlodHRwczovL3d3dy5tb25nYWJheS5jby5pZC8yMDE5LzA1LzEzL2tldGlrYS1wZW11dGloYW4ta2FyYW5nLXRlcmphZGktbGFnaS1kaS1sb21ib2svYW1wLw
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ketika Pemutihan Karang Terjadi Lagi di Lombok - Mongabay.co.id"
Post a Comment